Kembali

Penjaminan Simpanan dan Stabilitas Perbankan

Sumber: Krisna Wijaya ()
 
Pendahuluan
 
Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) atau financial safety net (FSN) telah menjadi instrumen yang banyak dilaksanakan diberbagai Negara, khususnya setelah terjadinya berbagai krisis keuangan. Secara generik konsep JPSK atau FSN diberbagai Negara mempunyai  tujuan untuk menciptakan suatu sistem yang dapat mendeteksi secara dini apa yang harus dilakukan seandainya akan terjadi krisis keuangan. Dengan pendekatan tersebut minimal dapat diharapkan apabila terjadi krisis penanganannya lebih cepat,tepat dan efisien.
 
Krisis keuangan pada hakkatnya tidak berdiri sendiri baik dari penyebabnya maupun dampaknya. Dari berbagai krisis yang terjadi diberbagai Negara, ada indikasi yang kuat bahwa krisis keuangan berdampak kepada krisis perbankan seperti yang pernah dialami Inggris (1992), di Thailand, Korea Selatan, Malaysia dan Indonesia (1997), Israel (1997), Bulgaria (1990), Spanyol (1997), Argentina (1980), Chili (1981),Jepang (1990) Venezuela (1994),  dan Meksiko tahun 1995.
 
Meskipun krisis tersebut hanya terjadi dibeberapa Negara akan tetapi secara tidak langsung juga mempengaruhi kondisi perekenomian di Negara lainnya mengingat transaksi keuangan sudah sangat meluas tampa batas dan mudah dilakukan serta cepat. Efek domino menjadi lajim terjadi mengingat dengan kemajuan tehnologi transaksi keuangan dapat dilakukan setiap saat. Uang hanya loyal kepada nilai tambah yang paling menguntungkan dimanapun lokasinya.
 
Krisis keuangan yang berdampak kepada krisis perbankan merupakan pelajaran yang berharga baik bagi kalangan peneliti, akademisi  maupun praktisi. Pengalaman tersebut banyak menghasilkan berbagai studi untuk mendapatkan fakta. Studi yang banyak dilakukan lebih difokuskan kepada pencarian sebab dan akibat berikut alternatif pemecahan masalahnya. Sekedar sebagai contoh misalnya Schumkler (2001) meneliti krisis di Argentina, Hosono, Hiroko Iwaki dan Kotaro Tsuru (2005) di Thailand, Korea Selatan, Malysia dan Indonesia, Sanhueza (1999) di Chili.
 
Krisis keuangan yang berdampak kepada krisis perbankan menimbulkan biaya yang pada umumnya menjadi beban fiskal yang harus ditanggung oleh pemerintah. Honohan dan Klingebiel (2003) memperkirakan besarnya untuk mengatasi biaya krisis perbankan berkisar 13% dari GDP.  Untuk krisis di Asia, Kaoru Hosono, Hiroko Iwaki dan Kotaro Tsuru (2005) menyampaikan perkiraan biaya biaya untuk mengatasi krisis perbankan di Thailand,Korea Selatan dan Malysia mencapai kisaran 5-7% dari GDP dan untuk Indonesia sekitar 58% dari GDP. Sanhueza dalam Rodrigo Fuentes dan Luis Antonio Ahumada (2003) memberikan perkiraan biaya krisis perbankan di Chili mencapai 35% dari GDP.
 
Memperhatikan besaran biaya dalam mengtasi krisis perbankan di Indonesia yang mencapai 58% dari GDP merupakan biaya krisis tertinggi di seluruh Negara. Krisis keuangan di Argentina yang sering disebut-sebut sebagai krisis yang besar dampaknya hanya memerlukan biaya krisis sedikit lebih rendah dari Indonesia yaitu 55% dari GDP (Goldestein, 1997).
 
Besar nya biaya tersebut tentunya berpengaruh terhadap berbagai aspek mulai dari terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya pengangguran. Dengan mempertimbangkan besaran biaya tersebut  ada kecenderungan pemerintah dan lembaga pengawas perbankan menghindari untuk menutup bank gagal (Honohan dan Klingebiel, 2003, dan Claessens, Klingebiel dan Laeven ,2003)
 
Dari berbagai studi yang berkaitan dengan krisis keuangan dan perbankan diperoleh indikasi bahwa agar terhindar dari kejadian serupa diperlukan adanya FSN atau JPSK. Program-program generik yang direkomendasikan  untuk penerapan FSN atau JPSK pada umumnya fokus kepada upaya-upaya pemberdayaan lembaga keuangan agar dapat menjalankan fungsinya lebih efisien dan efektif melalui berbagai deregulasi.  
 
Secara operasional salah satu aktifitas FSN atau JPSK adalah melalui pemberdayaan lender of last resort yang efektif dan efisien serta optimalisasi fungsi dan peranan lembaga penjamin simpanan (Rodrigo Fuentes dan Luis Antonio Ahumada 2003, Fiona C Maclachan 2003, Simon Kwan 2001). Fuentes et al (2003) menegaskan tidak perlu adanya keraguan bahwa lembaga penjamin simpanan  (deposit insurance corporation) merupakan bagian dari FSN atau JPSK yang dapat memperkecil dampak yang merugikan atas terjadinya krisis perbankan.
 
Dalam konteks peranan kelembagaan yang berkaitan dengan FSN atau JPSK, makalah yang disajikan oleh penulis hanya akan menfokuskan kepada fungsi dan peranan  penjamin simpanan  (PS).
 
Model Penjamin Simpanan 
 
Dari hasil kajian komprehensif yang dilakukan oleh Asli Demirguc-Kunt, Edward J Kane dan Luc Laeven (2006) terhadap risiko dan dampak krisis keuangan terhadap perbankan, diperoleh indikasi bahwa ada kecenderungan para pengambil kebijakan untuk menciptakan suatu jejaring pengaman keuangan (financial safety net) melalui pendirian PS apakah secara implisit dan ekspilit. Sementara itu Enrica Detragiache (2002) berpendapat bahwa tujuan pendirian PS  bukan hanya untuk melindungi penyimpan kecil saja,  tetapi lebih kepada mendorong secara sistim agar bank menjalankan fungsi intermediasinya dengan lebih efisien dan efektif.
 
Beberapa alasan yang disampaikan Kunt et al (2006) mengapa PS diperlukan antara lain karena biaya untuk mengatasi krisis perbankan menjadi lebih jelas dan terukur manfaatnya. Hal ini tidak lain disebabkan karena PS telah memiliki sejumlah dana yang berasal dari hasil akumulasi pembayaran premi dari bank peserta. Meskipun akumulasi premi yang dimiliki PS belum tentu mampu mentutup seluruh biaya penutupan bank gagal, tetapi secara sistim menjadi lebih terukur dan jelas.
 
Sejarah berdirinya lembaga yang bertugas melakukan penjaminan simpanan dimulai pertama kalinya di Amerika Serikat pada tahun 1934.  Asli Demirguc- Kunt, Edward J Kane dan Luc Laeven (2007) menjelaskan bahwa mengapa Amerika Serikat mendirikan lembaga tersebut didasari pengalaman terjadinya krisis ekonomi yang hebat di tahun 1933 dimana hak-hak para penabung di bank yang harus ditutup nasibnya tidak jelas.  
 
Kunt et al (2007) menyatakan  pada umumnya suatu Negara baru membentuk PS setelah (1)  mengalami krisis keuangan dengan alasan memudahkan untuk meyakinkan para pihak dan (2) adanya saran dari Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia Bank ketika mereka melakukan asistensi atas krisis suatu Negara.
 
Terlepas apakah karena memang kebutuhan yang timbul dari internal ataupun karena adanya dorongan IMFdan atau Bank Dunia, dalam perkembangannya pada akhirnya banyak negara  yang mempunyai PS. Sampai dengan tahun 2007 tercatat 95 negara yang telah mendirikan sistim penjamin simpanan, dan sekitar 23 negara lagi masih dalam dalam proses[3] (International Association of Deposit Insures (IADI, 2007)).
 
Pada umumnya setiap negara hanya mempunyai satu lembaga PS  status dibawah pemerintah[4] (baca; sebagai lembaga pemerintah). Namun demikian terdapat beberapa Negara yang memiliki lebih dari satu seperti di Austria misalnya memiliki 4 lembaga PS, Kanada dengan 10 lembaga PS,  Jerman dengan 8 lembaga PS dan salah satunya dikelola oleh swasta , serta  2 lembaga PS di Itali.
 
Bentuk PS di masing-masing Negara memang berbeda satu dengan lainnya. Ada beberapa Negara yang tidak memiliki PS sendiri tetapi bergabung dengan PS negara lain seperti Marshall Islands, Micronesia dan Puerto Rico yang menggabungkan diri dengan US Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Demikian pula untuk negara Kamerun, Afrika, Chad, Kongo,Equatorial Guinea dan Gabon sistim DIC berada dalam satu manajemen yaitu Commission de'I Afrique Centrale (COBAC). Kekhususan juga terdapat di Spanyol yang memiliki 3 lembaga PS yang masing-masing fokus kepada perbankan umum, bank tabungan dan bank koperasi.
 
Jenis penjaminan yang telah dipraktekan di seluruh Negara pada dasarnya terbagai dalam dua katgori yaitu secara implicit dan eksplisit. Penjaminan secara implisit dilaksanakan tampa melalui suatu lembaga khusus tetapi ditangani oleh kelembagaan yang sudah ada seperti Bank Sentral atau Departemen Keuangan disaat terjadi bank gagal.
 
Sedangkan secara eksplisit dilaksanakan oleh lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk melaksanakan program penjaminan simpanan baik apakah ada bank gagal atau tidak serta melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan resolusi atas bank gagal dan melakukan pengawasan kepada bank peserta penjaminan. PS secara eksplisit tidak semuanya melaksanakan hal tersebut diatas, seperti Brasil misalnya hanya  terbatas kepada pembayaran klaim (pay box system) sementara untuk resolusinya dilakukan oleh Bank Sentral.
 
PS pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah dan hanya beberapa Negara seperti Argentina,Jerman dan Swiss yang dilaksanakan oleh pihak swasta. Sedangkan keanggotaan bank dalam PS sebagian besar adalah wajib dan hanya di Swiss saja yang bersifat tidak wajib. Sedangkan model operasional PS pada umumnya menganut penjaminan secara terbatas yaitu sejumlah tertentu dari simpanan[5].
 
Pemberlakuan pembatasan penjaminan merupakan model PS yang terbanyak dianjurkan mengingat dengan sistim penjaminan penuh (blanket guarantee) selain akan mengurangi disiplin pasar juga meningkatkan moral hazard yang tinggi. Demirguc-Kunt dan Huizinga (2004) berpendapat semakin tinggi nilai penjaminan simpanan akan menurunkan disiplin pasar.  Honohan dan Klingebiel (2003) mengatakan bahwa dampak blanket guarantee dalam rangka penjaminan simpanan atas terjadinya krisis perbankan  secara signifikan meningkatkan beban fiskal dan memperlambat pemulihan krisis.
 
Hal yang lain yang dikemukan oleh Honohan dan Klingebiel (2003) adalah adanya indikasi bahwa tidak terjadi trade off antara biaya yang harus dipikul terhadap proses pemulihan ekonomi. Ini berarti bahwa meskipun biaya yang dikeluarkan besar tetapi tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pemulihan krisis.
 
Berdasarkan model PS yang telah banyak dipraktekan diberbagai Negara dapat disimpulkan bahwa model PS untuk masing-masing Negara bervariasi antara  Negara yang satu dengan Negara lainnya. Namun demikian diperoleh indikasi – sebagaimana disampaikan oleh Kunt et al (2007),  bahwa model PS yang harus memenuhi syarat  (1) PS harus terbatas, baik dalam jumlah maupun jenis yang dijamin (2) keanggotaan PS bersifat wajib (3) PS harus terbuka sehingga semua pihak bisa mempercayai (4) melaksanakan fungsinya secara tepat dan relevan (5) independen dalam membuat keputusan.
 
Peranan Penjamin Simpanan 
 
Studi mengenai PS telah banyak dilakukan mulai dari Marton (1978), Busaer et al (1981), Diamond dan Dybvig (1983), Chari dan Jagannathan (1988), Kane (1995), Calomiris (1996), Allen dan Gate (1998) dan terakhir adalah yang dilakukan oleh  Kunt et al (2007). Pada umumnya mereka mempunyai kesamaan pendapat bahwa keuntungan suatu negara memiliki PS adalah untuk mencegah "pemborosan" biaya likuidasi suatu bank gagal.
 
Pada umumnya para peneliti sepakat bahwa keberadaan PS yang dikaitkan dengan peranannya dalam menjaga stabilitas perbankan masih menjadi kajian yang menimbulkan pro dan kontra.. Timbulnya pro dan kontra pada umumnya tidak terlepas dari sudut pandang bahwa adanya penjaminan simpanan bisa menimbulkan gangguan pada disiplin pasar dan adanya moral hazard[6].  Adanya penurunan atas disiplin pasar dan adanya moral hazard baik secara langsung maupun tidak, akan menstimulir terjadinya ketidak stabilan pada sektor perbankan.
 
Asli Demirguc-Kunt dan Detragiache (2002) menyatakan bahwa disain sebuah PS  akan memberikan pengaruh terhadap disiplin pasar.  Hal yang sama juga dinyatakan oleh Demirguc-Kunt dan Huizinga (2004).  Vasso P Ioannidou dan Jan de Dreu (2006) yang meneliti kasus PS di Bolivia periode 1998-2003 berpendapat bahwa PS  akan mengurangi insentif para penabung untuk turut serta mengawasi bank disaat bank menawarkan tingkat sukubunga yang tinggi. Hal tersebut akan  berpengaruh terhadap tingkat kedisipilin bank dalam mengelola usahanya.
 
Dalam kajiannya, Ioannidou dan Jan de Dreu (2006)  menyimpulkan bahwa adanya PS secara sigfinikan menurunkan disiplin pasar. Argumentasinya adalah karena simpanannya dijamin, maka ada kecenderungan pihak bank untuk meningkatkan daya tarik produk simpanan dengan cara menaikkan sukubunga yang jauh berbeda dengan tingkat bunga di pasar.
Dalam analisanya Ioannidou dan Jan de Dreu (2006) menggunakan krietria yang dapat menilai tingkat disiplin pasar melalui beberapa indikator kinerja perbankan seperti  leverage ratio,non performing loan, loan loss reserve dan overhead expenses. Meningkatnya rasio-rasio tersebut merefleksikan semakin tingginya tingkat risiko suatu bank dana apabila  hal tersebut dilakukan melalui mekanisme sukubunga, maka cenderung untuk menurunkan disiplin pasar.
 
Dengan tingkat sukubunga yang tinggi,  mempunyai implikasi semakin tingginya risiko karena akan meningkatkan biaya dana yang pada akhirnya menyebabkan tingginya tingkat sukubunga pinjaman. Tingginya tingkat sukubunga merupakan refleksi bahwa bank akan menanggung risiko yang lebih tinggi. Dari sisi aktiva akan mempengaruhi kemampuan membayar para nasabah kredit sedangkan dari sisi pasiva akan menaikkan biaya dana,
 
Studi yang dilakukan peneliti lain yaitu dengan  mencoba menggunakan pendekatan yang berbeda misalnya Martinez Peria dan Schumukler (2001) yang menggunakan pendekatan kuantitas yaitu kaitan antara pertumbuhan simpanan dengan tingkat risiko bank dan Hosono (2005) mengggunakan alat analisnya berdasarkan baik tingkat sukubunga maupun pertumbuhan simpanan terhadap risiko bank.
 
Salah satu kesimpulan yang menarik untuk diketahui adalah apa yang disampaikan oleh Hosono (2005) dimana  untuk kasus di Indonesia menyatakan bahwa perlindungan simpanan yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak menghasilkan tingkat kredibilitas yang tinggi.
 
Kesimpulan tersebut tentunya harus diterjemahkan hati-hati mengingat untuk kasus di Indonesia penjaminan simpanan baru diberlakukan setelah krisis terjadi. Oleh sebab  itu Hasono (2005) memberikan pendapatnya bahwa  adanya PS terbatas yang disertai dengan keterbukaan informasi mengenai penjaminan simpanan sangat penting dalam rangka meningkatkan disiplin pasar.
 
Selanjutnya Cull,Senbet dan Sorge (2005) menjelaskan bahwa PS secara eksplisit memang akan mempengaruhi votalitas sistem keuangan  apabila suatu Negara memiliki sistim kelembagaan keuangan yang lemah. Sistim kelembagaan keuangan yang lemah pada akhirnya akan meningkatkan moral hazard karena baik pemilik maupun pengelola  bank merasa disisi pasivanya telah ada yang menjamin.
 
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Hosono (2005), Greg Caldwell (2007), berpendapat bahwa disiplin pasar penting berkaitan dengan probabilitas kegagalan bank dan kemampuan PS dalam menanganinya. Untuk itu bank harus dapat dapat memberikan informasi secara jelas dan terbuka berkaitan dengan status  keuangan bank kepada  publik agar pasar dapat meresponnya dengat tepat dan relevan.
 
Meskipun ada indikasi bahwa keberadaan PS cenderung mungurangi tingkat disiplin pasar, tetapi bukan berarti bahwa PS menjadi tidak diperlukan. Dalam kaitan ini saya mengggunakan analogi kalau bank juga menimbulkan moral hazard, maka bukan berarti bank menjadi tidak diperlukan. Hal ini didasari pemikiran bahwa bukan hanya PS saja yang menyebabkan berkurangnya tingkat disiplin pasar dan moral hazard.
 
Asli Demirguc-Kunt dan Enrica Detragiache (2002), misalnya berpendapat bahwa ketidak disiplinan terhadap pasar juga didorong oleh ketidak disiplinan para penyimpan, pengelola dan pemilik bank serta  pihak-pihak terkait lainnya seperti bank lainnya dan stakeholder.
 
Moral hazard yang ditimbulkan oleh lembaga keuangan seperti bank dan PS lebih banyak dialami pada kondisi dimana liberalisasi sistim keuangan dan perbankan sedang dilaksanakan. Untuk memperkecil moral hazard dapat diatasi melalui  pelaksanaan good corporate governance (GCG) yang efektif dan terbentuknya disiplin pengawasan (LaBrosse,2005) dan  melalui berbagai regulasi (Luc Laeven 2002).
 
Semakin baik regulasi perbankan, maka keberadaan PS akan meningkatkan stabilitas perbankan. Disamping regulasi perbankan, kualitas pengelolaan PS juga akan memberikan dampak terhadap stabilitas perbankan (Asli Demirguc-Kunt dan Enrica Detragiache, 2002). Regulasi yang relevan untuk diperhatikan adalah yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dan sistim pengawasan. Sedangkan kualitas PS menurut hemat saya harus ditinjukan dengan kredibilitas baik Lembaga maupun para pengelolanya.           
 
Hal lain yang menjadi fungsi dan peran PS dalam andilnya menciptakan stabilitas perbankan adalah dalam pelaksanaan resolusi bank, apakah yang menyangkut bank gagal yang harus dilikuidasi maupun bank gagal sistemik yang harus diselamatkan. Pada umumnya semua PS yang ada diberbagai Negara memiliki kewenangan melakukan resolusi suatu bank.
 
Dalam menangani bank gagal tidak terlepas dari masalah moral hazard baik  yang timbul dari bank maupun dari PS. Moral hazard yang timbul akan mempengaruhi efektifitas resolusi bank sehingga dampaknya berupa ketidak percayaan terhadap PS. Disamping itu tentunya juga akan mempengaruhi ketidakstabilan perbankan karena PS tidak dapat memberikan kepastian.
 
Thorsten Beck dan Luc Laeven (2006)  menganalisis proses resolusi bank di 57 negara dengan menggunakan data lebih dari 1700 bank. Hasil studi menjelaskan bahwa  PS dapat menjaga tingkat disiplin pasar dan meminimalkan moral hazard apabila masalah yang dihadapi bank dapat ditangani secara cepat  melalui intervensi langsung dri PS dalam menanganinya. Hal tersebut mutlak diperlukan karena menunda penutupan bank gagal atau bermasalah akan meningkatkan biaya fiskal LaBrosse (2005) 
 
Hasil rergresi data data yang dilakukan Thorten Beck dan Luc Laven(2006) menyatakan bahwa PS mempunyai peranan yang penting dalam memelihara stabilitas perbankan apabila PS mempunyai kewenangan yang penuh dan independen dalam melakukan resolusi bank.
 
Sebagai suatu model yang ideal, maka yang bisa dijadikan acuan adalah US Federal Deposits Insurance Corporation (FDIC) karena disamping melaksanakan program penjaminan dan resolisi juga karena mempunyai kewenangan mengawasi bank secara langsung. Dengan kewenangan tersebut selain resolusi bank dapat dilakukan lebih dini juga meningkatkan tingkat pengembalian (rate of recovery) atas asset bank yang diluikidasi.
 
Penutup
 
Krisis keuangan yang berdampak kepada krisis perbankan yang terjadi di berbagai Negara harus dijadikan pembelajaran yang sangat berharga bagi para pihak yang mempunyai kewenangan membuat kebijakan. Secara empiris diperoleh indikasi betapa mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengatasi suatu krisis perbankan.  Hal tersebut tentunya belum termasuk kerugian secara sosial,politik dan budaya yang menambah semakin panjangnya proses pemulihan ekonomi.
 
Belajar dari pengalaman krisis perbankan adanya PS yang bersama-sama  dengan lembaga keuangan lainnya dalam wadah suatu FSN atau JPSK memberikan indikasi yang positif dalam konteks menjaga stabilitas sistem keuangan termasuk perbankan.  Allan Greenspan mantan Gubernur Bank Sentral Amerika pada saat menyampaikan pidatonya di  Chicago Bank Structure Confference menyatakan : " Its clear that deposit insurance has played a key-at time even critical- role in achieving the stability in banking and financial market that has characterized the past almost seventy years" (LaBrosse 2005)
 
Harus disadari oleh semua pihak bahwa dalam kaitan menciptakan stabilitas perbankan melalui disiplin pasar dan meminimalkan moral hazard jelas tidak bisa hanya tergantung kepada PS. PS hanya merupakan salah satu bagian dari FSN atau JPSK sehingga diperlukan adanya sinergi yang efektif dengan kelembagaan terkait. Upaya yang dapat dilakukan oleh PS menurut hemat saya sebatas membangun kepercayaan yang menjadi layak dipercaya.
 
Dalam rangka membangun PS yang dipercaya, maka selain harus menerapkan GCG juga diperlukan adanya ketersediaan informasi yang memadai sehingga selalu dapat menghasilkan keputusan yang relevan dan berkualitas. Adanya akses PS  untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan aktivitas perbankan memberikan dampak positif dalam rangka menciptakan stabilitas perbankan. Menurut  LaBrosse (2005) "information is king-proprietary and coveted".
 
Daftar Pustaka
 
Beck, Thorsten dan Luc Laeven (2006), Resolution of Failed bank by Deposit Insures; Cross-Country Evidence, World Bank Policy Research Working Paper 3920.
 
Caldwell, Greg (2007), Best Instrument for market Discipline in Banking, Bank of Canada Working Paper 2007-9.
 
Cull, Robert,Lemma W,Senber dan Marco Sorge (2005), Deposit Insurance and Financial Development. Journal of Money, Credit and Banking No.37.
 
Fuentes, J Rodrigo dan Luis Antonio Ahumada (2003), Banking Industry and Monetary Policy; An Overview, Central Bank of Chielie Working paper No.240
 
Gaytan, Alejandro dan Romain Ranciere (2006), Banks, Liquidity Crises and Economic Growth, IMF Research Department.
 
Honohan, Patrick dan Fernando Ontes Negret (2006). Deposit Insurance Experiences; China versus Russia. World Bank mimeo
 
Hosono, Kaoru, Hiroko Iwaki dan Kotaro Tsuru (2005). Banking Crises, Deposit Insurance and Market Discipline; Lesson from the Asian Crises, RIETI Discussion Paper Series 05-E-029
 
Hosono, Kaoru, (2005), Market Discipline to Bank in Indonesia,Korea,Malysia and Thailand; ADBI Confference, January 20-21, 2005, http:/www. adbi.org /files /2005.01.21.cpp.market.discipline.banks.pdf
 
Ioannidou, Vasso P dan Jan de Dreu (2006). The Impact of Explicit Deposit Insurance on Market Discipline. Tilburg University, Center Discussion Paper No.2006-05.
 
Kwan, Simon (2001), Financial Modernization and Banking Theories, FRBSF Economi Letter, No.2001-37.
 
L:aBrosse, John Raymond, The Role of Deposit Insurance in Contributing of Financial Stability; A Global Perspective, IADI (2005)
 
Laeven, Luc (2002). Bank Risk and Deposit Insurance. World Bank Economic Review Vol.16. No.1 109-137.
 
Kunt, Asli Demirguc, Edward J Kane dan Luc Laeven (2007), Determinat of Deposit  Insurance Adoption and Design, National Bureau of Economic Research,Working Paper No 12862.
 
Kunt, Asli Demirguc, Edward J Kane dan Luc Laeven (2006), Deposit Insurance Design and Implementation; Policy Lesson from Research and Practice, World Bank Policy Research Working paper No.3969..
 
Kunt, Asli Demirguc dan Enrica Detragiache (2002). Does Deposit Insurance Increase Banking System Stability; An Empirical Investigation. Journal of Monetary Economics 49.
 
Maclachan, Fiona C, Market Discipline in Bank Regulation; Panecea or Paradox, The Independent Review VI, n Fall 2001.
 
Olson, Mark W (2006), Are Banks Still Special, Remarks at the Annual Washington Confference of the Institute of International Banker, Whasington DC
 
[1] Disampaikan pada Seminar Jaring Pengaman Sektor Keuangan, Bank Indonesia, Jakarta 16 Juni 2007
 
[2] Anggota Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Makalah ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.
 
[3] Negara-negara yang dalam status persiapan mendirikan penjamin simpanan (PS) adalah  Australia,Belarus,China,Costa Rica, Saudi Arabia, Selandia Baru , Panama dan Yaman. Negara lainnya yang menunda pendirian PS adalah Barbados,Bolivia,Kameroun, Chad, Equatorial Guinea, Gabon, Republik Kyrgyz , Afrika Selatan dan Thailand.
 
[4] Pada umumnya PS tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden atau Perdana  Menteri tampa melalui Departemen atau Kementrian.
 
[5] Pengalaman FDIC di Amerika pembatasan dimulai dengan maksimal 5000 US.$ (1934), kemudian menjadi 10.000 US$  (1950), 15.000 US$ (1966), 20.000 US$ (1969), 40.000 US$ (1974) dan menjadi 100.000 US$ sejak tahun 1980. Bahkan khusus untuk para pensiunan jumlah jaminannya dirubah menjadi 250.000 US$ sejak tahun 2006. 
[6] Untuk kesamaan persepsi defenisi yang digunakan berasal dari International Association of Deposit Insurance/IADI  (2007). Market discipline a situation where depositor or creditor assess the risk characteristic of a bank and act upon such assessment to deposit or withdraw funds from bank. Moral hazard the incentive for additional risk taking that is often present in insurance contract and arises from the fact parties to the contract are protected again loss.