Kembali

PROSPEK PERBANKAN DAN KEBERADAAN LPS: Beorientasi Kepada Penciptaan Stabilisasi

Sumber: Krisna Wijaya
 

Sejak beroperasinya LPS terhitung tanggal 22 September 2005, banyak pihak-khususnya kalangan Perbankan hanya melihat satu sisi saja dari fungsi LPS. Pada umumnya LPS hanya dipersepsikan sebagai lembaga penjaminan simpanan dengan cara memungut premi dan mengeluarkan tingkat suku bunga penjaminan (SBP).

Tak kenal maka tak sayang akhirnya berlaku. Sosialisasi LPS memang belum berjalan secara optimal. Padahal sesuai UU No.24 Tahun 2004 fungsi LPS adalah (1) menjamin simpanan nasabah penyimpan dan (2) turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai  dengan kewenangannya. Bahkan begitu strategisnya LPS dalam pertanggung jawabannya langsung kepada Presiden tampa melalui Departemen Tehnis.
            Untuk mewujudkan amanat dari UU LPS tersebut, maka LPS tugas untuk (1) merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas perbankan dan (2) merumuskan, menetapkan dan melaksanakan penanganan bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak sistemik.
            Karena kedudukannya yang strategis, maka sesuai UU setiap setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia diwajibkan untuk menjadi peserta penjaminan. Tidak termasuk dalam program penjaminan menurut UU tersebut adalah Badan Kredit Desa.
            Program penjaminan yang dilaksanakan oleh LPS adalah hanya berupa simpanan yaitu giro,deposito,sertifikat deposito, tabungan dan yang dipersamakan dengan itu[1]. Dalam penjelasan UU LPS dinyatakan bahwa transfer masuk dan transfer keluar serta inkaso tidak termasuk dalam lingkup yang dijamin karena bukan termasuk simpanan.
            Sebagai peserta LPS setiap bank peserta wajib membayar premi penjaminan dan biaya kepersertaan. Untuk premi penjaminan simpanan  ditetapkan sebesar 0,1% yang dihitung dari saldo rata-rata simpanan setiap periode (Jan s/d Juni dan Juli s/d Des), sedangkan untuk kepersertaan dipungut sebesar 0,1% yang hitung dari modal dan hanya sekali saja disaat bank yang brsangkutan menjadi peserta LPS.
Disamping besaran jumlah simpanan yang dijamin, maka Penetapan premi saat ini masih diberlakukan sama untuk seluruh bank peserta LPS[2] . Penetapan premi tersebut dapat dirubah sehingga dimungkinkan penetapan premi yang berbeda antara satu bank dengan bank yang lain atas dasar skala risiko kegagalan bank.

Dampak Pembatasan Penjaminan
Berdasarkan UU LPS juga dinyatakan bahwa nilai simpanan untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak sebesar Rp. 100 juta. Namun demikian pemberlakuan ketentuan tersebut dilakukan secara bertahap dengan kerangka waktu sebagai berikut;

1.      6 (enam) bulan pertama sejak LPS beroperasi   yaitu dari tanggal 22 September sampai dengan 21 Maret 2006, yang dijamin adalah seluruh simpanan berupa tabungan,giro,sertifikat deposito, deposito dan yang dipersamakan dengan itu.
2.      Kemudian 6 (enam) bulan berikutnya yaitu dari 22 Maret 2006 sampai dengan 21 September 2006, jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah Rp 5 milyar.
3.      6 (enam) bulan berikutnya yaitu periode 22 September 2006 sampai dengan 21 Maret 2007 jumlah simpanan yang dijamin  menjadi Rp 1 milyar, dan terhitung mulai tanggal 22 Maret 2007, maka jumlah simpanan yang dijamin paling tinggi adalah Rp 100 juta[3] untuk setiap penyimpan di sebuah bank.

Tahapan tersebut diatas sangat jelas menunjukkan bahwa era blanket guarantee sudah mulai berakhir sejak 22 September 2005 dan menuju kearah limited guarantee  pada Maret 2006. Perubahan tersebut sedikitnya pasti akan berpengaruh kepada Perbankan dalam menjalankan  bisnisnya. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana dampaknya bagi Perbankan sekiranya pada saat maksimum simpanan yang dijamin menjadi Rp 5 milyar dan seterusnya sampai nantinya hanya Rp 100 juta saja.
Dalam jangka waktu tertentu bisa diatasi secara ad hoc misalnya dengan cara memecah simpanannya agar dana yang sudah tersimpan tidak lari. Jadi kalau ada nasabah mempunyai simpanan berupa deposito Rp 3 milyar, maka agar tetap dijamin sepenuhnya bisa saja dilakukan perubahan kepemilikan rekeningnya menjadi 3 rekening dengan nama yang berbeda.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan membuka 3 rekening di 3 bank yang berbeda. Kalau ini akan yang dipilih akan terjadi redistribusi dana dari bank yang satu ke bank yang lainnya secara resiprokal (baca: timbal balik) ataupun searah tergantung kepercayaan nasabah penyimpan kepada banknya. Sudah barang tentu pilihan ini akan merepotkan kedua belah pihak. Disatu sisi bank nya kekurangan sejumlah dana simpanan, di sisi lain pihak nasabahnya direpotkan secara tehnis karena harus berurusan dengan 3 bank.
Penyelesaian secara ad hoc tersebut jelas harus diberlakukan hanya sementara. Bayangkan bagaimana repotnya baik bagi bank maupun pemilik dana kalau nanti pada bulan Maret 2007 dimana nilai maksimum simpanan yang dijamin LPS hanya Rp 100 juta? Bukan saja berdampak kepada sistem IT masing-masing bank karena data base nya harus bertambah, tetapi juga kerepotan yang harus diderita sang penyimpan.
            Perubahan sistem blanket ke limited guarantee harus dikemas dalam bentuk mengajak semua pihak untuk bersepakat bahwa yang diperlukan adalah perubahan pola fikir (baca; paradigma). Pertama dikalangan perbankan harus tumbuh semangat membangun kepercayaan agar nasabahnya tetap setia. Harus diingat bahwa bank yang menjamin sisa penjaminannya. Hal kedua, nasabahpun harus terbiasa bahwa yang dijamin sebesar Rp 100 juta adalah oleh LPS. Jadi bukan berarti sisanya tidak dijamin karena selisihnya tetap dijamin oleh pihak bank.
            Ada semacam kekhawatiran bahwa dengan pemberlakuan limited guarantee  akan menyebabkan pelarian nasabah simpanan dari bank kecil ke bank besar atau dari bank besar ke bank asing. Kehawatiran tersebut tidak bisa diabaikan tetapi jangan dijadikan ketakutan yang belebihan. Kita pernah mengalami masa dimana simpanan sama sekali tidak ada yang menjamin, tetapi kenyataannya bank tetap tumbuh dan berkembang. Jadi kembali lagi kepada sampai sejauh mana Perbankan dapat menumbuh-kembangkan kepercayaannya dimata para nasabah dan masyarakat luas.

Dampak Suku Bunga Penjaminan
            Banyak pertanyaan mengapa LPS ikut menentukan tingkat suku bunga penjaminan (SBP)? Secara historis pemegang hak untuk menetapkan SBP adalah pemerintah cq Departemen Keuangan. Pada saat era blanket guarantee hak nya diserahkan kepada BPPN.  Karena BPPN lebih fokus kepada resolusi bank dan penyelesaian debitur bermasalah, maka haknya “diserahkan” kepada Bank Indonesia. Demikian halnya disaat Unit Program Penjamian Pemerintah (UP3), yang mengeluarkan SBP adalah tetap oleh Bank Indonesia.
            SBP diperlukan oleh LPS karena merupakan amanat tidak langsung   UU LPS, khususnya  yang memuat ketentuan persyaratan pembayaran klaim. Klaim tidak dapat dibayar apabila (1) simpanan tidak tercatat secara resmi di bank, (2) nasabah mendapatkan perlakuan khusus atau tidak wajar dalam sukubunga dan (3) nasabah adalah pihak yang menyebabkan bank bermasalah.
            Dalam konteks butir (2) tersebut diatas, maka dalam peraturan LPS dijelaskan bahwa yang dimaksud tidak wajar adalah apabila nasabah mendapatkan tingkat suku bunga simpanan diatas SBP. Oleh sebab itu setiap pertengahan bulan LPS selalu mengumumpan SBP.
            Secara harfiah pengertian sukubunga penjaminan adalah tingkat suku bunga simpanan tertinggi yang dapat dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) [4]. Pengertian dijamin adalah apabila kelak bank mengalami masalah dan harus dilikuidasi, maka simpanan masyarakat tidak akan hilang sekalipun bank nya dinyatakan tutup.
Sekedar ilustrasi sekiranya Anda menyimpan uang di sebuah bank kemudian ditawari suku bunga deposito per bulannya adalah 13,25% sementara tingkat SBP adalah 13%. Sekalipun hanya berbeda 0,25% , maka seluruh deposito tersebut  termasuk yang tidak dijamin oleh LPS. Artinya disaat nasabah mendapatkan suku bunga sebesar itu dan bank nya harus dilikuidasi, maka LPS tidak akan membayar klaim. Ini berarti  nasabahnya hanya tinggal mempunyai hak menagih kepada pihak bank.
Secara operasional SBP akhirnya djadikan acuan bank dalam menetapkan tingkat suku bunga simpanan. Masing-masing bank dengan otoritasnya dapat menetapkan berapapun tingkat suku bunga simpanannya dengan batasan maksimum SBP. Dapat dikatakan semakin tinggi suku bunga simpanan suatu bank dapat diindikasikan bahwa bank tersebut dalam posisi memerlukan likuiditas tambahan. Dengan demikian pada akhirnya terjadi kontraksi moneter atau tidak sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat SBP.
Secara bisnis menawarkan suku bunga simpanan diatas SBP memberikan daya tarik karena logikanya semua penyimpan selalu mengharapkan hasil bunga setinggi mungkin. Sudah dapat dipastikan bank juga merasakan manfaatnya karena dapat meningkatkan likuiditasnya. Disamping itu Pemerintah juga menjadi terbantu dalam melaksanakan penyerapan rupiah sebagai langkah kontraksi moneter yang memang diperlukan disaat inflasi tinggi.
Memanfaatkan situasi memang sebuah “kecerdikan” disatu pihak tetapi juga sebuah “kelicikan” dilain pihak. Situasi apa yang dimanfaatkan oleh sejumlah bank adalah karena tidak semua masyarakat penyimpan paham dan peduli apa itu SBP. Kalau motif positif yang dianut, maka seharusnyalah pihak bank yang berkewajiban untuk  membuat nasabahnya paham dan peduli. 
Seandainya semua pihak sudah paham dan peduli mengenai SBP, apakah praktik sejumlah bank menawarkan suku bunga diatas SBP akan hilang? Agak sulit dipastikan karena kalau juga sudah paham tetapi antara bank dan nasabahnya telah sepakat, lantas apa yang bisa dicegah?  Pemberian cash give dimuka misalnya,mungkin dianggap sebagai layanan tambahan dan promosi. Jadi berlakulah bahasa gaul yang sedang popular; so what begito lo!
Esensi persaingan sebenarnya adalah suatu strategi,kreasi dan seni dengan motif yang positif. Oleh sebab itu kemasan persaingan harus elegan dengan mengacu kepada persaingan yang sehat. Sangat pasti para bankir masih mempunya kreasi untuk memenangkan persaingan secara sehat dan bermotif positif karena dari situlah sebenarnya kualitas bankir akan dinilai.

Masalah Bank Gagal
             Disamping melaksanakan program penjaminan LPS juga mempunyai tugas untuk menangani bank gagal baik secara sistemik maupun tidak. Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun  terhadap kelancaran dan kelangsungan roda  perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas.
Apabila LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada perbedaan perlakuan antara penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi beban pihak LPS.
Sementara itu untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tampa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara  melibatkan pemegang saham lama (open bank assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam penyelematan, maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya penyelamatan. Sama seperti bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan ditangani LPS.
Untuk penanganan bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan UU diberikan kewenangan yang sangat memadai. Misalnya, LPS mempunyai kewenangan untuk melaksanakan RUPS luar biasa sehingga secara cepat dapat menguasai dan pengelolaan bank yang dinyatakan gagal.  Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan bank lain.
Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, maka semua biaya yang timbul akibat melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara.  Jangka waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3 tahun sejak penyelamatan dilakukan.
Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus dilikuidasi, maka hasil penjualan aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara prioritas yaitu untuk biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh LPS. Apabila  hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama.
Indikasi adanya bank gagal dalam kondisi apapun tidak bisa diabaikan. Banyak analisis yang mengatakan bahwa apabila kecenderungan NPL yang terus naik di akhir tahun 2005 dan berlanjut di tahun 2006, dikhawatirkan akan banyak bank yang mengalami kegagalan.  
Tingginya tingkat NPL memang merupakan salah satu faktor pemicu kemungkinan gagalnya sebuah bank. Oleh sebab itu pengelolaan NPL harus menjadi perhatian karena dari situlah suatu bank akan dihadapkan pada persoalan mengalami kegagalan atau tidak. Tentunya pihak bank yang harus mengantisipasinya dalam bentuk penerapan strategi untuk menurunkan NPL.
Kenaikan NPL (gross) dari 4,5% pada Januari 2005 dan menjadi sekitar 8,7% pada bulan Oktober 2005 menunjukan adanya gejala yang perlu dicermati. Kalau inflasi yang tinggi terjadi pada bulan Oktober sehingga sejak itu baik BI rate maupun SBP naik, maka permasalahannya adalah apakah kenaikan itu dikarenakan oleh kenaikan tingkat suku bunga?
Secara hipotetis disaat inflasi masih tinggi, maka BI rate dan SBP akan mengikutinya. Ini berarti akan memberikan peluang naiknya tingkat suku bunga pinjaman sebagai akibat naiknya tingkat suku bunga simpanan. Kalau tendensi itu berlanjut sampai tahun 2006, maka tidak salah kalau ada semacam peramalan bahwa NPL pun akan cenderung naik di tahun 2006.
Sebenarnya ada perhitungan non hipotetis yang perlu dipertimbangkan. Misalnya bagaimana kalau kenaikan suku bunga simpanan karena naiknya BI rate dan SBP tidak di ikuti dengan kenaikan suku bunga pinjaman? Persoalannya apakah hal ini dapat dilakukan oleh pihak bank?
Untuk melaksanakan hal tersebut diatas memang bank harus “berkorban” dengan tidak menaikan serta merta apalagi berbanding lurus tingkat suku bunga pinjamannya. Dengan asumsi tidak menaikan suku bunga pinjaman saja repayment capacity (RPC) nasabah telah berkurang sebagai akibat naiknya biaya-biaya operasional baik karena terkait langsung mapun tidak dengan kenaikan BBM. Tentunya RPC akan semakin mengecil kalau suku bunga pinjaman ikut dinaikkan.
Solusi termudah dan logis adalah kalau bank tidak menaikkan tingkat suku bunga pinjamannya. Dampak dari kebijakan ini sangat tidak populis bagi pemegang saham karena akan mengurangi deviden sebagai akibat menurunnya keuntungan. Dalam jangka pendek memang “menyakitkan” tetapi dalam jangka panjang itu adalah sebuah solusi. Sebab dengan tidak mengurangi RPC tidak ada alasan nasabah tidak membayar kewajibannya.
Dalam mengantisipasi NPL sebenarnya dapat dilakukan melalui program restrukturisasi sejak dini. Jadi jangan sampai kondisi sudah sangat memburuk baru dilakukan restrukturisasi. Untuk kredit konsumtif misalnya tinggal diperpanjang jangka waktunya, maka RPC akan meningkat karena keajiban membayarnya menjadi lebih kecil.

Beberapa Catatan   
Dari pemahaman apa dan bagaimana LPS yang dikaitkan dengan prospek perbankan tahun 2006, ada beberapa catatan yang dapat disampaikan sebagai berikut;
            Pertama, keberadaan LPS merupakan jawaban perlunya reformasi sistim penjaminan yang semula berisifat blanket guarantee menjadi limited guarantee. Tentunya ada alasan mengapa terjadi reformasi program penjaminan simpanan. Alasan yang paling mudah dapat diterima mengapa program penjaminan menjadi dibatasi adalah untuk menghindari adanya  moral hazard (baca; tindakan tidak terpuji yang di sengaja)  para oknum pemilik dana besar yang sekaligus mempunyai bank. Dengan model seperti itu, oknum-oknum tersebut bisa saja membangkrutkan banknya dengan memberikan pinjaman kepada groupnya, sementara simpanannya tetap terjamin.
            Kedua, diperlukannya adanya reformasi dalam proses berfikir (paradigma) bahwa pembatasan penjaminan simpanan bukan berarti simpananya menjadi sama sekali tidak terjamin. Yang terjadi adalah perubahan bentuk penjaminan dimana semula seluruhnya oleh LPS beralih bebannya menjadi oleh LPS dan bank yang bersangkutan. Dengan adanya pembatasan penjaminan, maka diperlukan kiat yang kreatif bagaimana agar perbankan  tetap dapat dipercaya. Inti kepercayaan itu sendiri akan bermuara kepada kepercayaan kepada pengelola dan pemiliknya. Kalau itu bisa diberikan kepada masyarakat, maka bank tidak merasa perlu khawatir akan ditinggalkan nasabahnya.
            Ketiga,  keberadaan LPS  merupakan bagian dari kelengkapan instrumen pemerintah dalam menciptakan  jejaring pengaman perbankan (bangking safety net) sekaligus juga pengamanan sistem keuangan (financial safety net).  Sebagai banking safety net dilakukan melalui program penjaminan dan penanganan bank gagal, sementara sebagai financial safety net  diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan surplus dan  akumulasi premi yang di investasikan di SBI dan SUN. Dengan modal dan akumulasi yang dimiliki memberikan peluang LPS memainkan peran sebagai market maker baik di pasar primer maupun sekundair pasar surat-surat berharga tersebut diatas.
            Keempat, keberadaan LPS dikaitkan dengan prospek perbankan tentunya sangat terkait dengan fungsi LPS. Dengan adanya LPS, maka bank dapat menjadi terlindungi karena semuanya telah menjadi peserta LPS. Artinya ada jaminan yang jelas dan pasti kepada nasabah simpanan bahwa uang aman disimpan di bank. Demikian pula halnya apabila terjadi bank yang bermasalah dan dikatagorikan gagal, maka telah ada sistem dan kelembagaan yang menanganinya yaitu LPS. Itu semua tentunya akan memberikan sinyal bahwa bank sebagai industri kepercayaan akan tetap terjamin.
            Kelima, memasuki tahun 2006 industri perbankan akan menghadapi berbagai turbelensi yang relative lebih berat dibandingkan awal tahun 2005. Selain ancaman peningkatan NPL, bank juga masih harus menghadapi berbagai ketidakpastian baik suku bunga, inflasi maupun situasi politik. Namun demikian tetap ada optimisme yang perlu dijaga mengingat hasil strest test Bank Indonesia mengindikasikan bahwa dengan SBI rate sampai 15% masih dalam kondisi tidak membahayakan. Kalau saja perbankan nasional bisa mengemas persaingan yang elegan, sehat dan transparan, maka dampak negatif dari persaingan dapat di eliminir.
            Keenam, pada akhirnya bank harus mengambil pilihan untuk menjadikan tahun 2006 sebagai tahun stabilisasi sekaligus instropeksi. Menghadapi era stabilisasi lebih baik mengutamakan kepentingan jangka panjang berupa going concern agar persoalan-persoalan jangka pendek dapat diatasi dengan cara adanya kerelaan bank untuk mengurangi ambisinya dalam pencapaian profitabilitas. Memang akan sangat “menyakitkan” tetapi itulah pilihan terbaik yang harus dilakukan.

Penulis adalah pengamat ekonomi

 

[1] Yang dimaksud dengan bentuk lainnya adalah bentuk-bentuk simpanan di dalam bank syariah atau apabila ada bentuk simpanan baru yang dipersamakan dengan simpanan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia.
[2] Besarnya  premi sebesar 0,1% dapat dirubah apabila dipenuhi sekurang-kurangnya satu kriteria berikut (1) terjadi perubahan nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada suatu bank (2) akumulasi cadangan penjaminan telah melampaui tingkat sasaran sebesar 2,5% dari total simpanan di setiap bank atau (3) terjadi perubahan tingkat risiko kegagalan pada industri perbankan.
[3] Besarnya maksimum simpanan yang dijamin oleh LPS berdasarkan UU memang dapat dirubah apabila dipenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut; (1) terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan (2) terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun atau (3) jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dan 90% dari jumlah nasabah seluruh bank. Sama halnya dengan besaran jaminan, maka untuk perubahan premi harus dalam bentuk PP setelah dikonsultasikan dengan DPR.
[4] Penetapan tingkat suku bunga penjaminan oleh LPS mempertimbangkan berbagai faktor antara lain besaran BI rate yang ditetapkan oleh BI, situasi dan kondisi perbankan nasional, serta kebijakan makro ekonomi dan moneter yang sedang dan akan dilaksanakan . 

Prospek Perbankan-Seminar Banking Outlook 2006  (104 kb)