Kembali

Suku Bunga Penjaminan

Sumber: Krisna Wijaya ()

Sejak beroperasinya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dikesankan bahwa bagi kalangan perbankan ada dua acuan mengenai tingkat sukubunga yaitu BI rate dan tingkat sukubunga penjaminan (SBP). Kalau kita melihat kebelakang, sebenarnya  SBP sudah ada  sejak beroperasinya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Perbedaannya pada waktu era BPPN yang menetapkan SBP adalah Bank Indonesia, sementara sejak 22 September 2005 penetapan tersebut dilakukan oleh LPS.

LPS menetapkan SBP karena merupakan bagian dari pelaksanaan UU No.24  tahun 2004 tentang LPS,  khususnya Pasal 19 ayat (1) butir b berikut penjelasannya. Esensinya adalah berkaitan dengan kriteria klaim yang tidak layak bayar yaitu apabila  (a) data simpanan tidak tercatat pada bank, (b) nasabah merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar dan atau (c) nasabah merupakan pihak yang menyebabkan bank menjadi tidak sehat.

            Dalam penjelasan UU LPS pasal 19 tersebut ditegaskan bahwa nasabah yang mendapatkan keuntungan tidak wajar adalah apabila mendapatkan hasil bunga jauh diatas bunga pasar. Kemudian dalam  pasal 20 ayat (2) dinyatakan bahwa LPS hanya membayar simpanan nasabah sesuai dengan penjaminan berikut bunga yang wajar. Dalam konteks bunga pasar dan bunga yang wajar itulah LPS harus menetapkan acuan dalam bentuk SBP.
Metodologi
            Karena konteks nya adalah sukubunga pasar dan sukubunga yang wajar, maka secara tehnis haruslah mempertimbangkan tingkat sukubunga pasar yang terbentuk karena aktifitas perbankan dalam mengelola dana pihak ketiga (DPK). Sebagai kebutuhan praktis biasanya digunakan acuan rata-rata sukubunga dari 10 bank terbesar yang dianggap sebagai penentu pasar (market maker).  Pengertian bank terbesar umumnya dikaitkan dengan pangsa pasar dalam perolehan dana pihak ketiga.
            Disamping menggunakan pendekatan tersebut, lajimnya sebuah metodologi maka perlu juga adanya  adjustment untuk mengantisipasi adanya variabel-variabel seperti misalnya adanya ekspektasi atau persepsi terhadap variabel-variabel ekonomi dan suatu kebijakan. Namun demikian,  sekalipun ada  adjustment tetap harus disertai sejumlah data dan beberapa informasi yang akurat dan relevan..
Karena acuannya adalah perolehan imbalan yang wajar, maka kebijakan sukubunga penjaminan haruslah mempertimbangkan daya tarik disatu pihak dan risiko dilain pihak. Dalam meramu kedua hal tersebut dalam implementasinya  haruslah dapat menjaga tingkat kepercayaan (level of confident) penyimpan kepada bank. Adalah wajar kalau "jam terbang" para pengambil keputusan ikut mewarnai kualitas SBP.
Disamping pertimbangan tersebut diatas, ada hal lain yang juga menjadi pertimbangan yaitu yang berkaitan kewajiban LPS untuk  membentuk cadangan klaim bank gagal. Karena klaim yang dibayar adalah pokok dan bunga, maka pembentukan  cadangan klaim bank gagal memperhitungkan jumlah  bunga yang harus dibayar. Dengan demikian tinggi rendahnya SBP akan terkait dengan tinggi rendahnya pembentukan cadangan klaim bank gagal.


 

 

Implementasi


Sebagai bahan diskusi lebih lanjut, menarik untuk dikaji bagaimana implementasi pemberlakuan SBP sepanjang tahun 2006 sebagaimana disajikan dalam Tabel berikut. (Lihat Tabel). Berdasarkan tabel tersebut ada kecenderungan bahwa perbankan nasional masih memberikan sukubunga simpanan dibawah SBP. Dari tabel juga dapat diindikaskan betapa LPS sangat memperhatikan pasar disatu pihak dan adjustment dipihak lain.

Adanya selisih  sekitar 70-90  basis poin antara rata-rata sukubunga  tertimbang dengan SBP adalah merupakan bagian dari adjustment  Mengapa hal tersebut dilakukan tentunya sebagai bentuk dari fleksibilitas perbankan untuk tetap dapat menjaga daya tarik simpanan. Kalau pada akhirnya LPS harus memprioritaskan kepentingan, maka keberpihakannya  tentu harus sesuai dengan amanat UU yaitu melindungi sebagian besar penyimpan. Sebagian besar penyimpan berada dalam kelompok mempunyai saldo sampai dengan Rp 100 juta, yaitu lebih dari 98% untuk bank umum dan 99,% untuk BPR.

Banyak yang mempertanyakan mengapa LPS dalam penetapan SBP periode 15 maret-14 April 2007 tetap sama dengan periode sebelumnya yaitu sebesar 9,25% sementara BI rate justru turun menjadi 9,00%. Atas kebijakan tersebut bermunculan opini bahwa penurunan cost of fund (COF) menjadi terhambat sehingga perbankan tidak dapat menurunkan sukubunga kredit. Bahkan ada yang berpendapat seharusnya LPS lebih berani menetapkan SBP dibawah BI rate.

Pendapat dan opini tersebut diatas tentunya sangat wajar, tetapi belum tetap tepat dan relevan. Kalau semua jenis simpanan diberikan bunga sama dengan SBP tentu benar kalau akhirnya COF tidak bisa turun. Tetapi harus juga dipahami bahwa tinggi rendahnya COF tergantung kepada bagaimana masing-masing bank menetapkan strategi pendanaannya. Akan menjadi tinggi COF nya kalau sebagian besar DPK perbankan justru ada di kelompok deposito.
Akan halnya harapan SBP dibawah BI rate tentu ekspektasi yang wajar tetapi juga belum tentu relevan dalam konteks melihat perbankan secara menyeluruh. Meskipun SBP tidak dimaksudkan memasuki koridor pengaturan moneter, tetap dalam implementasinya sering banyak dikaitkan. Misalnya banyaknya pihak perbankan membeli SBI antara lain disebabkan karena SBP masih sama dengan BI rate. Analoginya kalau SBP dibawah BI rate - dan LPS pernah melakukan itu, maka perolehan DPK masih menarik untuk dibelikan SBI.
Catatan Penutup
            Dengan uraian tersebut diatas haruslah dipahami dengan benar bahwa SBP bukan merupakan instrumen yang ditujukan untuk pengendalian moneter. Bahwa dalam prakteknya ada yang mengkaitkan tentu bukan berarti itu merupakan tujuan dari LPS.  Secara kelembagaan tujuan LPS dalam menetapkan SBP adalah dalam kerangka kewajiban LPS membayar klaim. Tentu ada juga kaitannya dalam rangka menjaga tingkat kepercayaan perbankan dimana obyek penjaminan LPS berada. Ini sesuai dengan amanat UU LPS pasal 4 dimana salah satu fungsi LPS adalah turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Membangun sebuah industri perbankan yang stabil memang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Namun demikian faktor kepercayaan adalah merupakan faktor utama sekaligus penentu. Oleh sebab itu tentu akan ada korbanan biaya yang harus dipikul oleh LPS dalam konteks menjadi tingkat kepercayaan terhadap perbankan. Tingkat SBP yang semakin tinggi menimbulkan beban biaya cadangan klaim bank gagal yang lebih besar. Sebaliknya SBP yang terlalu rendah akan mengurangi daya tarik penyimpan terbesar yang pada umumnya kurang memiliki posisi tawar yang tinggi. Korbanan biaya juga akan timbul disaat LPS harus meresolusi bank gagal apakah dengan cara menyelamatkan atau tidak menyelamatkan.
Hal yang cukup penting untuk dimaklumi adalah bahwa sukubunga hanya merupakan salah satu faktor dalam menentukan daya tarik, sehingga peran LPS tentunya mempunyai keterbatasan. Oleh sebab itu implementasi adanya SBP harus dijadikan sebagai kajian yang komprehensif bagi kalangan perbankan dalam mengelola aset dan kewajibannya. Jadi alat untuk bersaingnya  tidak semata-mata hanya mendasarkan  kepada sukubunga saja.

 

Penulis adalah pengamat ekonomi dan Kepala Eksekutif LPS. Tulisan ini tidak mewakili lembaga dan merupakan opini pribadi.

Tabel .
Rata-Rata Tertimbang Sukubunga Bank Umum, SBP,BI Rate dan Fed Tahun 2006

Periode

Deposito

(1 Bulan)

SBP

BI Rate

FED

Januari

12,01%

13,00%

12,75%

4,50%

February

11,85%

12,75%

12,75%

4,50%

Maret

11,61%

12,50%

12,75%

4,75%

April

11,51%

12,50%

12,75%

4,75%

Mei

11,45%

12,50%

12,50%

5,00%

Juni

11,34%

12,50%

12,50%

5,25%

Juli

11,09%

12,00%

12,25%

5,25%

Agustus

10,80%

11,75%

11,75%

5,25%

September

10,47%

11,25%

11,25%

5,25%

Oktober

10,01%

10,75%

10,75%

5,25%

November

9,50%

10,25%

10,25%

5,25%

Desember

8,96%

9,75%

9,75%

5,25%

Sumber: Bank Indonesia dan LPS