Kembali

Potret eks Bank Century pascapansus DPR

Sumber: Bisnis Indonesia (16-06-2010)

Potret eks Bank Century pascapansus DPR

Manajemen berhasil membuat positif nilai ekuitas   

Bank Mutiara-nama baru Bank Century-belum lama ini mengumumkan laporan keuangannya pada posisi akhir Desember 2009 dalam perbandingannya dengan posisi setahun sebelumnya (31 Desember2008) dan per akhir Maret 2010.

Dari laporan itu dapat disimak perkembangan selama setahun sejak bank itu diambil alih LPS dan diserahkan pengelolaannya oleh manajemen baru yang di komandani Maryono, bankir senior eks Bank Mandiri.

Kita bisa bayangkan betapa sulitnya menjalankan sebuah bank yang namanya tidak henti-hentinya menjadi pergunjingan publik, untuk sebuah masalah yang sebenarnya bukan urusan manajemen secara langsung.

Di sisi lain, tidak terhitung berapa kali manajemen dan jajarannya secara bergantian mondar-mandir harus datang ke KPK, Mabes Polri dan tentunya ke Senayan. Tidak sekadar memberi keterangan, tetapi bisa dipastikan ikut menjalani 'interogasi' khususnya oleh Pansus DPR
Di samping masalah-masalah eksternal, manajemen juga dihadapkan kepada berbagai masalah internal sebagai akibat 'salah urus' yang dilakukan manajemen dan pemegang saham lama. Sekurang-kurangnya ada tujuh masalah yang diwariskan manajemen lama yang ditengarai membuat bank ini rusak.

Masalah tersebut adalah lemahnya pelaksanaan prinsip kehati-hatian, lemahnya praktik tata kelola perusahaan yang baik (GCG), lemahnya manajemen risiko (fluktuasi pasar, likuiditas, kredit, operasional, hukum, kepatuhan), rekayasa keuangan, rekayasa akuntansi, lemahnya internal control, masalah SDM dan budaya kerjanya.

Berbagai kelemahan mendasar tersebut tentunya sudah terdeteksi oleh lembaga pengawasan Bank Indonesia. Namun tampaknya sistem dan teknik pengawasannya belum cukup memadai sehingga rekayasa keuangan melalui transaksi cukup canggih yang dilakukan pengurus dan pemilik bank masih terlewati (over-looking).

Transaksi keuangan dengan berbagai lembaga keuangan luar negeri (First Gulf Asia Holding dan Telltop Holdings Ltd) dengan menggunakan instrumen surat-surat berharga luar negeri (US Treasury Strips dan Medium Term Notes)-melalui mekanisme Asset Management Agreement dan Asset Exchange Agreement-adalah contoh rekayasa keuangan yang mengandung risiko tinggi.

Di dalam negeri dikenal adanya instrumen keuangan dengan nama Discretionary Funds (sejenis Reksa Dana) yang diterbitkan oleh salah satu anak perusahaannya (PT Antaboga Delta Sekuritas) di mana bank ini ditunjuk sebagai agen tunggal untuk memasarkan produk tersebut.
BPK menengarai timbulnya kerugian mencapai angka lebih dari Rp5 triliun dari dugaan praktik tidak sehat serta pelanggaran ketentuan yang dilakukan pengurus, pemegang saham dan pihak terkait lainnya yang harus ditanggung oleh Bank Century.

Secara keseluruhan, harus diakui bahwa bank seukuran Bank Century cukup canggih dan inovatif dalam melakukan transaksi keuangan dengan pihak luar negeri.

Oleh karena itu, kasus Bank Century ini penting, menjadi pelajaran sangat berharga dan momentum untuk memperbaiki sistem serta metode pengawasan yang memiliki daya tangkal lebih baik-termasuk penerapan enforcement system yang lebih keras oleh Bank Indonesia.

Kinerja keuangan

Hiruk-pikuk Bank Century yang berlangsung hampir 6 bulan dalam periode 2009 tidak membuat bank ini stagnan.

Dari laporan keuangan-yang dipublikasikan agak terlambat dari jadwal yang ditentukan Bapepam dan Bank Indonesia-Bank Mutiara mencatat berbagai kemajuan.

Total aset bank mengalami kenaikan sekitar 35% dari Rp5,6 triliun menjadi Rp7,5 triliun atau bahkan Rp8,2 triliun per akhir Maret 2010 dibandingkan dengan posisi Desember 2008.

Pencapaian tersebut di atas rata-rata perbankan nasional sebesar 19%. Kenaikan itu bagian terbesar disumbang oleh kenaikan likuiditasnya yang disimpan di bank-bank dan yang ditanam di surat berharga (SBI ).

Untuk diketahui, pada akhir Desember 2008-seusai bank ini menerima dana bailout tahap pertama sekitar Rp5 triliun-posisi kedua pos ini anjlok hampir separuhnya dan terpakai untuk membayar penarikan dana nasabah karena terjadi rush.

Dana bailout tahap kedua yang diperolehnya-ditambah masuknya kembali simpanan nasabah-belum berhasil disalurkan untuk ekspansi kredit. Per akhir Maret LDR-nya masih bertengger pada angka 82%.

Di bidang pendanaan, kepercayaan nasabah berangsur pulih. Simpanan nasabah mengalami kenaikan sekalipun belum mampu mengembalikan posisinya pada saat sebelum bank ini diambil alih LPS.

Yang perlu diberikan apresiasi adalah keberhasilan manajemen membuat positifnya nilai ekuitas bank. Pasca-bailout, ekuitas bank per akhir 2008 masih mencatat angka minus sekitar Rp1,5 triliun. Pada akhir Maret angka merah tadi mampu dibuat positif menjadi Rp600 miliar dengan CAR 12%.

Ini sekaligus membuktikan bahwa kebijakan mempertahankan bank ini tetap eksis adalah lebih baik.

Menurut perhitungan, apabila opsi menutup bank ini yang dipilih, angka kerugian akan melampaui Rp6,7 triliun dari bank ini saja. Belum kerugian dari bank lain yang terseret akibat efek domino.

Kebijakan bailout adalah program penyelamatan (resque program) dari kondisi kritis. Bukan keputusan investasi yang normal pada industri blue chip, di mana uang tetap utuh dan memperoleh deviden plus capital gain pada tahun berikutnya.

Setidaknya hasil positif yang telah dicapai Bank Century pascapansus DPR merupakan langkah awal yang baik. Tentunya mantan Menkeu Sri Mulyani bisa sedikit tersenyum ketika membaca laporan keuangan bank ini di kantor barunya, Bank Dunia.

OLEH TOWIL HERYOTO
Mantan Direktur Bapindo