Jakarta, 03 Mei 2024
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Indonesia pada triwulan I-2024 masih dalam kondisi terjaga, didukung oleh kondisi fiskal, moneter, dan sektor keuangan yang stabil. Namun, terdapat peningkatan ketidakpastian dan gejolak geopolitik global yang mendorong peningkatan tekanan di pasar keuangan global dan domestik. KSSK akan terus melakukan asesmen forward looking atas kinerja perekonomian dan sektor keuangan terkini seiring risiko ketidakpastian ekonomi global yang meningkat serta gejolak geopolitik dunia yang eskalatif. Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Rapat Berkala KSSK II- 2024 pada hari Selasa, 30 April 2024 berkomitmen untuk terus memperkuat koordinasi dan sinergi, serta meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global serta gejolak geopolitik yang eskalatif, termasuk rambatannya pada perekonomian dan sektor keuangan domestik.
Outlook pertumbuhan ekonomi global diprakirakan relatif stagnan dengan berbagai risiko dan tantangan. Dalam laporan terbaru World Economic Outlook April 2024, IMF memproyeksikan ekonomi global stagnan di level 3,2% yoy di tahun 2024. Sementara itu, perekonomian Amerika Serikat (AS) tumbuh pada level 2,5% yoy di tahun 2023, dan diprakirakan kembali menguat ke 2,7% yoy di tahun 2024 seiring dengan kuatnya permintaan domestik dan aktivitas manufaktur AS yang masih ekspansif. Masih kuatnya kinerja ekonomi AS tersebut diikuti dengan kembali meningkatnya laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir, sehingga mendorong potensi penundaan dimulainya pemangkasan suku bunga acuan The Fed (high for longer). Di sisi lain, Tiongkok diprakirakan tumbuh melambat dari 5,2% yoy di tahun 2023 ke level 4,6% yoy di tahun 2024. Memasuki bulan April 2024, dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan kecenderungan ke arah negatif akibat eskalasi perang di Timur Tengah dan ketegangan geopolitik yang makin tinggi. Kebijakan moneter AS yang cenderung mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama – dan penundaan pemangkasan suku bunga federal (Fed Fund Rate) – serta tingginya yield US Treasury telah menyebabkan terjadinya arus modal portfolio keluar dari negara-negara emerging dan pindah ke AS serta menyebabkan penguatan mata uang US Dollar dan melemahnya nilai tukar mata uang berbagai negara. Ke depan, risiko terkait potensi penundaan pemangkasan FFR, tingginya yield US Treasury, penguatan US Dollar dan eskalasi ketegangan geopolitik global akan terus dicermati. KSSK terus siaga mengantisipasi dengan respons kebijakan yang sinergis dan efektif untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan tekanan dan ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik dan stabilitas sistem keuangan Indonesia.
Di tengah dinamika ketidakpastian global, kinerja ekonomi Indonesia masih cukup resilien. Pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2024 diprakirakan tetap berada di atas 5,0% dan menguat dibandingkan triwulan IV tahun 2023 didukung permintaan domestik yang tetap kuat, baik di sisi konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, dan konsumsi LNPRT, seiring dengan penyelenggaraan Pemilu, kenaikan gaji ASN, dan pemberian THR dengan Tukin 100%. Sementara itu, investasi bangunan lebih tinggi dari prakiraan, ditopang oleh berlanjutnya Proyek Strategis Nasional (PSN) di sejumlah daerah dan aktivitas konstruksi properti swasta sebagai dampak positif dari insentif Pemerintah. Adapun, kinerja ekspor diprakirakan masih belum cukup kuat sejalan dengan moderasi harga sejumlah komoditas dan lemahnya permintaan global. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 diprakirakan tetap di atas 5,0%.
Ketahanan eksternal ekonomi nasional cukup stabil dengan kebijakan nilai tukar Bank Indonesia (BI) terus diarahkan untuk menjaga stabilitas Rupiah. Pada akhir triwulan I 2024, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,89% ytd (per tanggal 28 Maret 2024), lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lainnya seperti Baht Thailand (6,41% ytd) dan Ringgit Malaysia (2,97% ytd). Kinerja Rupiah yang terjaga tersebut ditopang oleh kebijakan stabilisasi BI dan surplus neraca perdagangan barang. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2024 tetap tinggi sebesar 140,4 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Pada April 2024, tekanan terhadap mata uang global berlanjut sejalan makin meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global yang mendorong terus menguatnya dolar AS. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) menguat tajam mencapai level tertinggi 106,25 pada tanggal 16 April 2024 atau mengalami apresiasi 4,86% dibandingkan dengan level akhir tahun 2023. Perkembangan ini memberikan tekanan depresiasi kepada hampir seluruh mata uang dunia, termasuk nilai tukar Rupiah. Pada penutupan pasar tanggal 26 April 2024, Yen Jepang dan Won Korea masing-masing melemah 10,92% dan 6,34% ytd, sedangkan mata uang kawasan seperti Baht Thailand melemah 7,63% ytd. Sementara itu, pelemahan Rupiah sampai dengan 26 April 2024 tercatat lebih rendah yakni 5,02% ytd. Perkembangan ini didukung respons BI yang terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah antara lain dengan mengoptimalkan instrumen moneter yang tersedia, memperkuat strategi operasi moneter pro- market guna menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri, dan terus memperkuat koordinasi untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.
Inflasi terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Maret 2024 tercatat sebesar 3,05% yoy, ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,77% yoy dan inflasi administered prices (AP) yang menurun menjadi 1,39% yoy. Adapun inflasi volatile food (VF) meningkat menjadi 10,33% yoy dari 8,47% yoy pada bulan sebelumnya, yang dipengaruhi oleh faktor musiman periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) dan pergeseran musim tanam akibat dampak El-Nino. Sementara itu, inflasi IHK April 2024 menurun menjadi 3,00% yoy, ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,82% yoy, serta inflasi VF dan AP yang menurun menjadi 9,63% yoy dan 1,54% yoy. Ke depan, Pemerintah dan BI meyakini inflasi IHK 2024 tetap terkendali dalam sasarannya. Inflasi inti diprakirakan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, imported inflation yang terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi. Inflasi VF juga akan kembali menurun seiring peningkatan produksi akibat masuknya musim panen dan dukungan sinergi pengendalian inflasi TPIP dan TPID melalui berbagai kebijakan stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) serta GNPIP di berbagai daerah. Untuk itu, bauran kebijakan fiskal dan moneter terus diperkuat guna memitigasi risiko yang dapat memberikan tekanan terhadap inflasi, termasuk dari kenaikan imported inflation serta kenaikan harga energi dan pangan global. Sinergi dan koordinasi dalam forum TPIP dan TPID juga akan terus diperkuat sehingga dapat memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.
Kinerja APBN sampai dengan triwulan I tahun 2024 masih surplus, di tengah ketidakpastian perekonomian global yang masih eskalatif. Pendapatan negara terkontraksi 4,1% yoy sedangkan belanja negara tumbuh tinggi 18,0% yoy untuk menopang berbagai agenda pembangunan. Realisasi APBN sampai dengan triwulan I tahun 2024 masih surplus sebesar Rp8,1 triliun atau 0,04% PDB, keseimbangan primer positif sebesar Rp122,1 triliun, serta rasio utang yang terjaga di kisaran 38,79% dari PDB.
Realisasi Pendapatan Negara mencapai Rp620,0 triliun atau 22,1% dari target APBN 2024, kontraksi 4,1% yoy yang meliputi realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp462,9 triliun, atau terkontraksi 8,2% yoy, terutama dipengaruhi termoderasinya harga komoditas, pelemahan kinerja ekspor serta penurunan produksi hasil tembakau. Sementara itu, realisasi PNBP mencapai Rp156,7 triliun atau tumbuh 10% yoy terutama dipengaruhi pembayaran dividen yang meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Realisasi Belanja Negara mencapai Rp611,9 triliun atau tumbuh tinggi 18,0% yoy terutama dipengaruhi upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan dan menopang berbagai agenda pembangunan, namun demikian pada sisi lain juga dipengaruhi oleh relatif rendahnya penyerapan anggaran tahun lalu yang hanya tumbuh 5,7% yoy. Realisasi belanja negara meliputi realisasi belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp427,6 triliun atau tumbuh 23,1% yoy dan realisasi transfer ke daerah yang mencapai Rp184,3 triliun atau tumbuh 7,6% yoy. Realisasi belanja pemerintah pusat, meliputi realisasi belanja K/L yang mencapai Rp222,2 triliun atau tumbuh 33,1% yoy dan realisasi belanja non-K/L yang mencapai Rp205,4 triliun atau tumbuh 13,9% yoy. Tingginya realisasi belanja negara utamanya untuk penyaluran bansos seperti program sembako, PKH, PIP, stabilisasi harga pangan, subsidi energi, pelaksanaan Pemilu, pembayaran THR, serta dukungan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN).
Realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp84 triliun atau 16,1% APBN. Realisasi tersebut terdiri dari realisasi pembiayaan utang yang mencapai Rp104,7 triliun (16,1% dari target APBN 2024), yang meliputi penerbitan SBN (neto) yang mencapai Rp104,0 triliun dan pinjaman (neto) sebesar Rp0,6 triliun. Pembiayaan utang dilaksanakan secara prudent dan terukur dengan memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian domestik dan global serta kondisi likuiditas Pemerintah, serta menjaga keseimbangan antara biaya (cost of fund) dan risiko utang. Sementara itu, realisasi pembiayaan investasi mencapai Rp21,6 triliun antara lain untuk mendukung peningkatan akses pembiayaan perumahan bagi MBR dan penguatan kualitas SDM.
Pemerintah terus mengoptimalkan peran APBN sebagai shock absorber untuk melindungi daya beli dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global yang eskalatif. Pada tahun 2023, Pemerintah telah menerbitkan paket kebijakan yang salah satunya untuk penguatan sektor perumahan melalui pemberian PPN DTP untuk rumah seharga Rp2 miliar, pemberian bantuan biaya administrasi (BBA) untuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan dukungan rumah bagi masyarakat miskin melalui rumah sejahtera terpadu (RST). Realisasi paket kebijakan di sektor perumahan tersebut relatif efektif memberi manfaat bagi masyarakat dan mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah perekonomian global yang masih dibayangi ketidakpastian. Sejalan dengan hal tersebut paket kebijakan untuk penguatan sektor perumahan melalui insentif fiskal (PPN DTP) tetap dilanjutkan melalui penerbitan PMK No.7 tahun 2024. APBN juga akan terus dioptimalkan mendukung akselerasi transformasi ekonomi untuk penguatan ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri melalui memberikan fasilitas PPN DTP (PMK No.8 tahun 2024), PPnBM DTP (PMK No.9 tahun 2024) dan Bea Masuk 0% (PMK No.10 tahun 2024) untuk kendaraan listrik tertentu sebagai bentuk komitmen Indonesia menunju net zero emission. Sementara itu, pada sisi lain untuk mendukung penerapan PP DHE SDA no 36/2023, saat ini sedang disusun RPP fasilitas pajak DHE SDA, diantaranya memperluas cakupan instrumen moneter/keuangan yang dapat memperoleh fasilitas pajak penghasilan, seperti Term Deposit Valas BI, & Promissory Notes LPEI (selain Deposito). Pemerintah juga secara konsisten mendukung berbagai agenda pembangunan antara lain akselerasi penurunan stunting, penghapusan kemiskinan ekstrem, pengendalian inflasi (stabilisasi harga), penguatan SDM (pendidikan dan kesehatan), pembangunan IKN, serta penyelesaian PSN. Pemerintah juga melakukan penyesuaian tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan dari semula paling tinggi 35% menjadi paling tinggi 10% untuk mendukung pengembangan pariwisata di daerah.
BI terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global. Kebijakan moneter akan tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas (pro-stability), sedangkan kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta program ekonomi-keuangan inklusif dan hijau terus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan (pro-growth).
Sejalan dengan arah bauran kebijakan tersebut, BI menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%. Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability. BI juga terus memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dalam rangka memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global melalui: (i) kenaikan struktur suku bunga di pasar uang Rupiah sejalan dengan kenaikan BI-Rate serta meningkatnya yield US Treasury dan premi risiko global untuk menjaga daya tarik imbal hasil dan aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik guna mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah; (ii) intervensi di pasar valas pada transaksi spot, DNDF, dan SBN di pasar sekunder; (iii) penguatan strategi transaksi term-repo SBN dan swap valas yang kompetitif guna menjaga kecukupan likuiditas perbankan, (iv) penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi SRBI, SVBI, dan SUVBI; serta (v) penguatan koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA).
10.Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan, antara lain dengan:
Memperkuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui perluasan cakupan sektor prioritas, yakni dengan menambahkan sektor penunjang hilirisasi, konstruksi dan real estate produktif, ekonomi kreatif, otomotif, perdagangan, Listrik-Gas-Air Bersih (LGA), dan jasa sosial; serta penyesuaian besaran insentif untuk setiap sektor yang berlaku mulai 1 Juni 2024. Penguatan KLM diarahkan dapat segera memberikan tambahan likuiditas perbankan sebesar Rp81 triliun sehingga total insentif menjadi Rp246 triliun. Selanjutnya, sejalan dengan pertumbuhan kredit yang terus meningkat, tambahan likuiditas dari KLM diprakirakan dapat mencapai Rp115 triliun pada akhir tahun 2024, sehingga total insentif yang diberikan menjadi Rp280 triliun. BI akan terus memperkuat efektivitas implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif tersebut melalui sinergi kebijakan dengan Pemerintah, KSSK, perbankan, serta pelaku dunia usaha agar dapat mendukung peningkatan kredit/pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan;
Mempertahankan (i) Rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0%; dan (ii) Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94%;
Mempertahankan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) pada level 5% untuk Bank Umum Konvensional (BUK), dengan fleksibilitas repo sebesar 5%; dan rasio PLM syariah pada level 3,5% untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS), dengan fleksibilitas repo sebesar 3,5%; dan
Melanjutkan pelonggaran rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti guna mendorong pertumbuhan kredit di sektor properti, serta melanjutkan pelonggaran ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraaan bermotor baru, dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko;
Kebijakan sistem pembayaran diarahkan pada kebijakan pro pertumbuhan dengan memperkuat literasi digital dan mendorong perluasan Ekonomi Keuangan Digital (EKD). BI terus memperkuat literasi digital serta manajemen risiko penyelenggara dan masyarakat pengguna sistem pembayaran, termasuk berbagai inovasi yang mendukung inisiatif tersebut guna memperkuat stabilitas sistem pembayaran dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Digitalisasi sistem pembayaran dan perluasan ekosistem EKD juga terus didorong di antaranya melalui perluasan akseptasi QRIS antarnegara sebagai upaya untuk memperluas penggunaan Local Currency Transaction (LCT) pada koridor-koridor potensial.
BI terus mengarahkan seluruh kebijakan pendukung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. BI memperkuat dan memperluas kerja sama internasional dengan bank sentral dan otoritas negara mitra, khususnya di area kebanksentralan termasuk mempercepat konektivitas pembayaran dan LCT, serta memfasilitasi promosi investasi, perdagangan, dan pariwisata di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait. BI juga terus bersinergi secara erat dengan Pemerintah, perbankan, dan institusi lainnya untuk melanjutkan dukungan pengembangan UMKM serta Ekonomi dan Keuangan Syariah sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, BI juga melanjutkan pendalaman pasar uang dan valas, berkoordinasi dengan pemangku kebijakan lainnya, dalam rangka mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
Untuk menjaga stabilitas makro ekonomi, mendukung pertumbuhan ekonomi, serta memitigasi dampak rambatan memburuknya risiko global, BI memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan mitra strategis, termasuk program GNPIP di berbagai daerah dalam TPIP dan TPID, serta Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah (P2DD).
Di tengah meningkatnya ketidakpastian dan gejolak geopolitik global, OJK menilai stabilitas sektor jasa keuangan nasional tetap terjaga, didukung oleh permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, profil risiko yang manageable, serta kinerja sektor jasa keuangan yang relatif baik.
Kinerja industri perbankan Indonesia per Maret 2024 tetap terjaga stabil, didukung dengan tingkat permodalan atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Perbankan yang tinggi sebesar 26,00%. Di sisi intermediasi, kredit tumbuh 12,40% yoy atau sebesar Rp7.244 triliun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada kredit modal kerja sebesar 12,30% yoy. Sejalan dengan pertumbuhan kredit, Dana Pihak Ketiga (DPK) juga tumbuh menjadi 7,44% yoy atau sebesar Rp8.601 triliun, dengan giro yang menjadi kontributor terbesar yaitu tumbuh 9,37% yoy.
Likuiditas perbankan pada Maret 2024 terjaga. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing tercatat sebesar 121,05% dan 27,18%, masih jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%. Kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio NPL nett dan NPL gross perbankan masing-masing tercatat sebesar 0,77% dan 2,25%. Seiring dengan pemulihan pertumbuhan perekonomian nasional, jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 per Maret 2024 melanjutkan tren penurunan menjadi sebesar Rp228,03 triliun, begitu juga dengan jumlah nasabah yang turun menjadi sebanyak 859 ribu nasabah.
Pasar saham domestik cukup kuat di triwulan pertama tahun 2024. Per 28 Maret 2024, IHSG ditutup pada posisi 7.288,81 poin atau tumbuh sebesar 0,22% ytd dengan investor nonresiden membukukan net buy sebesar Rp26,28 triliun ytd. Nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp11.692 triliun atau tumbuh sebesar 0,15% ytd. Sementara itu, penghimpunan dana oleh korporasi melalui pasar modal di periode yang sama relatif solid, tercatat nilai penawaran umum sebesar Rp48,04 triliun, termasuk oleh 15 emiten baru. Dalam perkembangannya, hingga 26 April 2024 nilai penawaran umum sebesar Rp75,52 triliun. Namun demikian, OJK mencermati pengaruh dari peningkatan tekanan di pasar keuangan global terhadap kinerja pasar modal domestik, khususnya terkait aksi jual nonresiden di pasar saham yang sampai dengan tanggal 26 April 2024 mengakibatkan akumulasi pembelian saham nonresiden turun sehingga tercatat secara ytd net buy sebesar Rp7,62 triliun. Sementara itu, per 26 April 2024 IHSG ditutup pada posisi 7.036,08 atau terkoreksi sebesar 3,25% ytd.
Sektor perasuransian mencatatkan akumulasi pendapatan premi di Maret 2024 yang cukup baik, mencapai Rp87,53 triliun atau tumbuh 11,49% yoy. Secara umum, permodalan di industri asuransi pada Maret 2024 menguat, dengan Risk Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa, serta asuransi umum dan reasuransi pada Maret 2024 masing-masing sebesar 448,76% dan 335,97%, masih jauh di atas ambang batas 120%. Sementara itu, di industri dana pensiun, aset dana pensiun sukarela per Maret 2024 tumbuh 6,84% yoy dengan nilai aset sebesar Rp374,02 triliun. Adapun pada perusahaan penjaminan, pertumbuhan outstanding penjaminan tercatat tumbuh 20,79% yoy dengan nilai mencapai Rp415,4 triliun pada Maret 2024.
Di sektor Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML), piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan masih tumbuh di level yang tinggi yakni sebesar 12,17% yoy pada Maret 2024, dengan pembiayaan investasi dan modal kerja sebagai penopang pertumbuhan, yang masing- masing tumbuh sebesar 13,05% yoy dan 11,62% yoy. Profil risiko perusahaan pembiayaan terjaga dengan rasio non-performing financing (NPF) net tercatat sebesar 0,70% dan NPF gross sebesar 2,45%. Gearing ratio perusahaan pembiayaan masih berada pada level yang memadai dan tercatat sebesar 2,30 kali. Sementara itu, pada fintech peer to peer (P2P) lending, pertumbuhan outstanding pembiayaan pada Maret 2024 tercatat 21,85% yoy, dengan nominal sebesar Rp62,17 triliun dan penyaluran kepada sektor produktif sebesar Rp7,65 triliun (33,61% dari total pembiayaan P2P). Tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) dalam kondisi terjaga di posisi 2,94%.
Dalam rangka menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dan meningkatkan peran sektor jasa keuangan bagi pertumbuhan ekonomi nasional, OJK mengambil langkah kebijakan sebagai berikut:
OJK akan tetap mencermati perkembangan risiko pasar LJK dan juga pembiayaan ke sektor-sektor yang memiliki eksposur tinggi terkait dampak peningkatan ketegangan geopolitik di Timur Tengah, termasuk mencermati kondisi individual LJK. Di samping itu, OJK terus melakukan pengawasan secara optimal untuk memastikan bahwa risiko nilai tukar maupun suku bunga terhadap masing-masing LJK dapat termitigasi dengan baik.
Seiring dengan aktivitas ekonomi yang membaik pasca-pandemi dan semakin menurunnya kebutuhan atas kebijakan restrukturisasi kredit yang tercermin dari jumlahnya yang terus menurun, maka OJK mengakhiri kebijakan relaksasi yang diberikan untuk memitigasi scarring effect pandemi, termasuk kebijakan restrukturisasi kredit akibat dampak lanjutan Covid-19 untuk industri perbankan dan perusahaan pembiayaan sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya. Berakhirnya kebijakan ini diperkirakan tidak berdampak signifikan bagi stabilitas sektor jasa keuangan mengingat industri jasa keuangan telah membentuk pencadangan di level yang memadai.
Untuk mendukung terlaksananya penguatan pengawasan dan penanganan permasalahan Bank melalui respons kebijakan yang tepat, relevan, dan tepat waktu dalam rangka meningkatkan daya saing perbankan nasional serta menjaga stabilitas sistem keuangan, OJK menerbitkan perubahan POJK mengenai Penetapan Status Pengawasan dan Penanganan Permasalahan Bank Umum. OJK juga telah menerbitkan POJK Nomor 4 Tahun 2024 tentang Laporan Kepemilikan Atau Setiap Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan Terbuka dan Laporan Aktivitas Menjaminkan Saham Perusahaan Terbuka.
Dalam upaya mewujudkan industri perusahaan pembiayaan yang sehat, kuat, berintegritas, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi serta berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, OJK telah meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan (PP) periode 2024-2028.
Saat ini OJK sedang melakukan proses pendaftaran bagi Penyelenggara ITSK dari klaster model bisnis Innovative Credit Scoring (ICS) yang telah ditetapkan untuk diatur dan diawasi oleh OJK sebagai tindak lanjut implementasi POJK Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK).
Selain itu, OJK sedang merumuskan kebijakan terkait penerapan Artificial Intelligence (AI) di sektor keuangan termasuk sektor ITSK. OJK berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga dan asosiasi di sektor ITSK terkait dengan penerapan AI dan Generative AI dalam mengoptimalkan inovasi di ekosistem sektor keuangan. OJK berkomitmen untuk mengeluarkan kebijakan yang dibutuhkan LJK dan para pelaku pasar secara tepat waktu terutama untuk memitigasi peningkatan ketidakpastian ke depan.
Dari sisi penjaminan simpanan, jumlah rekening nasabah yang dijamin seluruh simpanannya oleh LPS hingga akhir Maret 2024 mencapai 99,94% dari total rekening atau setara 570.319.191 rekening untuk nasabah Bank Umum dan sebesar 99,98% dari total rekening atau setara 14.457.323 rekening untuk nasabah BPR/BPRS. LPS secara berkelanjutan terus melakukan asesmen dan evaluasi terhadap dinamika kinerja perbankan, ekonomi dan SSK dalam kaitannya dengan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) agar tetap sejalan dengan perkembangan kondisi perekonomian dan perbankan. Periode reguler evaluasi dan penetapan TBP akan dilaksanakan pada bulan Mei 2024.
Dari sisi penjaminan dan resolusi, kebijakan LPS akan terus diupayakan untuk mendukung pemulihan kinerja ekonomi, memelihara stabilitas SSK serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Kebijakan LPS untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dilakukan antara lain melalui: (i) monitoring cakupan penjaminan simpanan sesuai mandat Undang-Undang LPS, (ii) melakukan asesmen dan evaluasi berkelanjutan atas Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) LPS, (iii) percepatan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah BPR yang masuk dalam likuidasi, (iv) memperkuat koordinasi lintas otoritas agar penanganan bank pada periode Bank Dalam Penyehatan (BDP) dan Bank Dalam Resolusi (BDR) berjalan optimal, serta (v) meningkatkan kegiatan sosialisasi mengenai program penjaminan simpanan kepada masyarakat termasuk melalui kantor perwakilan di daerah. Sementara itu, dalam rangka menindaklanjuti amanat UU P2SK terkait Program Penjaminan Polis (PPP), LPS terus mengakselerasi persiapan penyelenggaraan PPP antara lain melalui koordinasi dan diskusi dengan Kementerian/Lembaga dan stakeholder industri asuransi, serta pemenuhan dan peningkatan kompetensi SDM internal di bidang asuransi.
KSSK berkomitmen untuk terus meningkatkan sinergi dalam mengantisipasi risiko ketidakpastian ekonomi global dan potensi ketegangan geopolitik dunia yang eskalatif terutama rambatannya pada perekonomian dan sektor keuangan domestik, termasuk memperkuat coordinated policy response dan kewaspadaan untuk memitigasi berbagai risiko bagi perekonomian dan SSK.
Dengan telah diundangkannya UU P2SK, Pemerintah, BI, OJK, dan LPS berkomitmen untuk menyelesaikan perumusan peraturan pelaksanaan amanat UU P2SK secara kredibel dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk pelaku industri keuangan dan masyarakat.
25.KSSK akan kembali menyelenggarakan rapat berkala pada bulan Juli 2024.
Untuk informasi lebih lanjut:
sekretariatkssk@kemenkeu.go.id